Modernis.co, Surabaya – Terhitung sejak aksi 212 banyak yang mengklaim bahwa umat Islam Indonesia mulai memasuki masa kejayaan. Bagaimana tidak, umat Islam mendadak melek politik dan bergerak secara terorganisir untuk memenangkan salah satu calon pada pilgub Jakarta pada waktu itu. Sehingga ada yang beranggapan bahwa fenomena tersebut layak disebut dengan Revivalisme Politik Islam.
Yang lebih menarik lagi ada yang menyamakan beberapa ulama’ dengan para sahabat sebagai tanda kebangkitan umat Islam: Aa Gym sesejuk Abu Bakr, Habib Rizieq setegas Sayyidina Umar r.a, Yusuf Mansur sekaya Sayyidina Utsman r.a, Bachtiar Nasir secerdas Sayyidina Ali bin Abi Thalib, walaupun menurut saya terlalu berlebihan.
Terlepas dari pandangan bahwa aksi 212 itu ditunggangi kepentingan politik atau tidak, aksi tersebut menjadi aksi pertama kali dalam sejarah gerakan Indonesia yang dihadiri oleh jutaan massa aksi.
Efek dari aksi 212 tidak hanya selesai pada PILGUB Jakarta kemarin, namun sampai pada PILPRES sebentar lagi. Maka dari itu PILPRES kali ini lebih memanas dibandingkan dengan PILPRES pada tahun 2014, lantaran PILPRES kali ini sarat akan politik identitas. Bahkan yang lebih mengagetkan lagi para ulama’ melakukan Ijtima’ dan melahirkan sebuah kesepakatan salah satu CAPRES & CAWAPRES yang layak dipilih bagi umat Islam Indonesia.
Sebelum melabeli fenomena tersebut dengan Revivalisme politik Islam, rasa-rasanya perlu untuk membedah terkait apa itu politik Islam, sehingga kita tidak salah dalam menilai serta tidak terjebak dalam pemahaman simbolik semata.
Iqbal filsuf yang paling berpengaruh di abad 20 sangat jernih menjelaskan terkait politik Islam. Ia berpendapat bahwa Politik Islam adalah bagaimana nilai-nilai Islam dapat ditegakkan dalam kehidupan dengan berporos pada keadilan. Ini artinya perjuangan politik Islam tidak selalu harus berbentuk partai politik.
Karena upaya mewujudkan terciptanya nilai-nilai Islam dalam konteks kehidupan berbangsa, dapat dilakukan di segala lini kehidupan. Dengan konsepsi yang diajukan oleh Iqbal, maka kita menjadi lebih bisa memahami saat seorang pemikir muslim, Muhammad Abduh mengatakan, saya melihat Islam di barat namun tidak melihat Muslim. Sedangkan saya di timur melihat Muslim namun tidak melihat Islam.
Artinya Islam sebagai sebuah nilai seperti keadilan, pembelaan kepada kaum tertindas, mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dinyatakan dalam Al-Quran, belum tentu dapat terlihat pada sebuah komunitas Muslim.
Dan demikian pula sebaliknya, komunitas muslim juga tidak serta merta merupakan manifestasi ideal dari nilai-nilai Islam. Butuh upaya serius dan komitmen kuat dari kaum muslim untuk menerapkan segenap nilai-nilai dari agamanya. Atau dengan kata lain, Islam secara normatif dimana nilai-nilainya begitu ideal, belum tentu sama dan selaras dengan Islam secara historis-sosiologis yang mewujud dalam kehidupan nyata secara sosial budaya dalam sebuah komunitas bangsa muslim.
Tatkala definisi dan penjelasan di atas ditarik dalam konteks Indonesia hari ini, terlalu cepat ketika kita menilai bahwa fenomena yang terjadi pada umat Islam hari ini atau lebih tepatnya gerakan pasca aksi 212 yang berimbas pada PILPRES disebut dengan Revivalisme politik Islam. Ada beberapa pertimbangan sehingga saya berkesimpulan seperti itu:
Pertama, bahwa gerakan yang dibangun tidak berdasarkan atas kesadaran betapa pentingnya menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa, namun berdasarkan kepentingan politik praktis saja. Bagaimana tidak, ada upaya sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol Islam untuk memperjuangkan kepentingannya dalam meraih kekuasaan. Serta sering kali aksi-aksi umat Islam hari ini bersifat sangat pragmatis dan cenderung terkesan sekedar memuaskan hasrat dan ambisi untuk berkuasa.
Kedua, ketika diperhatikan secara seksama, pada hakikatnya gerakan yang dibangun sampai detik ini terlalu eksklusif, sehingga berakibat terjadinya fanatisme buta ditubuh umat Islam sendiri.
Kalau memang dua hal ini benar-benar terjadi di tubuh umat Islam, saya sangat khawatir hal ini bisa mengakibatkan perpecahan yang sangat dahsyat dalam kehidupan berbangsa. Kita bisa mengaca pada Nabi Muhammad bagaimana beliau membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata.
Muhammad memulainya dengan membangun kesadaran manusia untuk terlepas dari segala belenggu kejahiliahan, lantas Muhammad beranjak kepada menata tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil perjuangan Muhammad tercatat dalam tinta emas sejarah dimana bahwa Muhammad mampu menyatukan berbagai macam suku dan agama di Madinah dan menghasilkan sebuah konstitusi yang bernama Piagam Madinah.
Kalau boleh jujur, Revivalisme politik Islam dalam konteks Indonesia tidak akan lahir dari sebuah gerakan yang ditunggangi oleh kepentingan politik praktis, namun akan lahir melalui gerakan yang sudah dibangun oleh organisasi masyarakat (ormas), setidaknya ada tiga ormas terbesar di Indonesia. Yaitu; Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama’ (NU), dan Persatuan Islam (PERSIS).
Ketiga ormas tersebut memiliki berbagai macam instrumen untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik dari lini ekonomi, sosial, politik, dan budaya, serta mereka tidak ada sarat akan kepentingan politik praktis.
Setidaknya kita masih memiliki harapan dengan berkembangnya gerakan-gerakan yang dipelopori oleh ormas, umat Islam mampu menjadikan gerakan tersebut sebagai episentrum peradaban dalam membangun bangsa dan negara.
Oleh : Zaki Ma’ruf, S.H. (Kabid RPK DPD IMM JATIM, Pegiat Peace Literasi Network)